Tuesday, May 10, 2011

Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah (Bag. 1)

Idul Adha 1431 H. Dalam penanggalan Masehi, jatuh pada 17 November 2010. Saya sudah mulai sering mengalami kontraksi palsu sejak beberapa hari lalu, terlebih seusai melakukan aktivitas fisik yang agak banyak. Saya harus semakin sering mempraktekkan senam nafas dan posisi berbaring rileks untuk meredakan kontraksi ade kecil.

Dan pagi ini saya berusaha tetap mengikuti sholat ied meski hanya di masjid komplek saja. Alhamdulillah bisa terlaksana plus sempat bereuni dengan Tunik dan Nina, karib saya semasa SMP yang juga tetangga di komplek. Selepas sholat ied, saya kembali berbaring dan merasakan kontraksi yang asli sepertinya mulai datang. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi.

Sungguh Facebook dan ponsel merupakan kecanggihan yang sangat saya syukuri karena menjadi teman berbaring yang menghibur. Bayangkan saja, betapa bosannya berbaring saja seharian sementara otak terus berputar ingin mengerjakan ini dan itu. Terlebih Mas Hari belum kembali dari Jakarta selepas mengikuti wawancara CPNS BNN. Nak, sabar ya.. tunggu Bapak kalau mau keluar...

Menjelang maghrib, kontraksi terasa makin teratur, meski masih dalam periode 20 menit sekali selama sekitar 1 menit. Mas Hari belum juga datang. Ambil nafas panjang, hembuskan perlahan. Itu saja yang saya lakukan. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Tidak ada dan tidak ada kekuatan selain dari Allah. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha. Tidaklah Allah menguji seorang hamba selain dari kemampuannya.

Pukul 20 malam, Mas Hari datang dengan Bapak. Menjemput untuk membawa saya ke rumah Lembah Hijau. Kontraksi saya sudah masuk ke setiap 10 menit. Saya semakin sering menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Alhamdulillah senam nafas itu efektif mengalihkan nano-nano kontraksi yang saya alami.

Sebisa mungkin saya berusaha tidur. Menghimpun energi jika sewaktu-waktu tanda-tanda melahirkan semakin nyata. Agak susah juga tidur karena lama tidak bertemu Mas Hari dan ingin bercerita banyak hal. Namun saya memaksakan diri untuk istirahat. Kaki saya agak bengkak.

Mas Hari anteng menemani saya. Memantau kontraksi dan sesekali mengusap punggung saya. ”Nanti jangan nangis, ya,” pesannya. ”Iya, insya Allah,” jawab saya sambil nyengir. Pukul 22 malam, kontraksi setiap 6 menit sekali. Waktunya siaga. Saya kebelet pipis.

Ternyata sudah ada bercak darah seperti haid ketika saya akan pipis. Oke, berarti saya masuk ke tanda kelahiran yang kedua. Oiya, kontraksi merupakan tanda kelahiran yang pertama, ya. Alhamdulillah keikutsertaan saya dalam kelas persiapan kelahiran dan senam hamil plus banjir informasi tentang proses kelahiran yang saya dapat dari Mas Hari sedikit banyak mempersiapkan mental saya untuk tetap tenang dan berpikir jernih.

”Nda, ade sudah ada bercak darah,” lapor saya ke Mas Hari.

”Oke, kita tunggu setengah jam lagi ya,” kata Mas Hari dan saya artikan sebagai ”Oke, tenang saja..insya Allah semua baik-baik saja.”

Pukul 23 malam kami – saya, Mas Hari, Adi, dan Ibu – berangkat ke RSIA Anugerah Semarang. Perut rasanya sudah begah dan ade kecil jedug-jedug terus. Ambil nafas panjang, hembuskan perlahan. Oiya, sambil mengaktifkan stopwatch di handphone untuk menghitung lama kontraksi dan jarak antarkontraksi. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Sampai di RSIA pukul 00.30 dan langsung masuk ke ruang bersalin. Ganti baju dan menjalani prosedur standar: cek tekanan darah, periksa dalam, pertanyaan ini itu, dan menunggu. Masih pembukaan 2 rupanya. Dokter kandungan saya sudah dihubungi dan sepertinya bidan jaga diminta memantau dulu. Ya.. ya.. saya tahu kalau anak pertama biasanya lama, jadi dokter juga punya alasan untuk tidak buru-buru.

Jadilah saya berbaring saja, miring ke kiri, menikmati kontraksi yang rupanya perlahan mulai membuat punggung terasa nyeri. Mas Hari dan suster jaga bergantian mengusap-usap punggung saya sambil mengobrol. Mereka yang mengobrol, maksud saya, karena saya sibuk menghela nafas dan membuang nafas perlahan. Sesekali saya nimbrung kalau kontraksi sedang diam.

Pukul 2 dini hari, saya diperiksa lagi. Baru pembukaan 4. Masih lama sepertinya. Stok obrolan Mas Hari dan suster menunjukkan tanda-tanda menipis. Soalnya, mereka menjadi lebih banyak diam dan memperhatikan saya sebagai pengalih kebosanan. Tentu saja, tangan mereka tidak berhenti bergantian mengusap punggung saya yang nyeri dan nyeri. Saya mencoba tidur. Tapi ternyata tidak bisa dan hanya memejamkan mata saja.

Pukul 3 dini hari, rupanya saya tertidur dan terbangun karena nyeri punggung minta diusap. Tinggal Mas Hari yang menemani saya. Dan Mas Hari tertidur di kursinya. Saya tidak sampai hati membangunkannya dan jadilah saya memandanginya untuk mengalihkan rasa nyeri di punggung saya. Perlahan, saya tersenyum memandangi wajahnya. Sungguh saya bersyukur, ia ada di sini sekarang.

Adzan shubuh. Saya mau wudhu tapi justru ditanya, “Kok mau wudhu?”

Kan mau sholat,” jawab saya spontan.

“Kan lagi melahirkan,” tersenyum Mas Hari berkata. Dan saya tertawa, ”Oiya, ya..”

Buru-buru saya berpesan kepada Mas Hari, ”Jangan lupa doain ade ya, nda..”

”Iya, insya Allah”

Saat itu, saya dinyatakan memasuki pembukaan enam.

Pukul setengah 6 pagi. Masih tetap  menunggu. ”Jangan lupa ngabari grandpa dan grandma ya, nda.. Biar pada tenang.” Mas Hari membantu saya mandi dan sarapan. Roti tawar lapis mentega dan meises coklat, segelas susu coklat, dan beberapa teguk teh manis. Kontraksi perut saya makin menjadi. Rasanya sudah ingin mengejan saja. Mulas sekali. Tapi berkali-kali otak saya memerintahkan untuk menunggu lampu hijau dari bidan. Dan jangan menangis. Dokter Vika belum juga datang. Lagi-lagi bertahan dengan menarik nafas panjang, menghembuskan perlahan, dan berbaring miring ke kiri. Laa haula wa laa quwwata illa billah, pembukaan delapan.

Ssssssssshhh..hhhhhhhh..
Ssssssssshhh..hhhhhhhh..
Ssssssssshhh..hhhhhhhh..

Saya melirik jam. Pukul 7. Sekuat tenaga mempertahankan akal sehat, kontrol agar tidak mengejan, dan susah payah mencari posisi nyaman, saya bertanya ke bidan, ”Dokternya mana, sus?”

”Sebentar lagi datang kok, Bu..sedang dalam perjalanan,” bidan Novi berusaha menenangkan saya. Logika saya berkata bahwa itu adalah jawaban standart karena satu jam yang lalu jawaban yang sama juga sudah disampaikan ke saya. Namun anehnya, otak saya memerintahkan saya menerima jawaban itu tanpa protes dan justru timbul perasaan terhibur mendengarnya. Untungnya bidan Novi lantas berkata, ”Saya telpon lagi dokternya ya, Bu.” Dengan berterima kasih saya menjawab, ”Iya, sus.. matur nuwun.”

Lima belas menit yang terasa berjam-jam. Akhirnya Dokter Vika muncul dan menyapa riang, ”Selamat pagi!” Lega sekali mendengarnya. Sepenuh hati saya menjawab dan berkata, ”Maaf ya, Dok, saya pagi-pagi benar sudah ngerepoti.”

Sejenak ada ekspresi kaget di wajah Dokter Vika. Sebuah sapaan yang tidak terduga, mungkin. Namun dengan profesional Dokter Vika menjawab, ”Ndak apa-apa, sudah tugas saya kok. Saya yang minta maaf karena ngantar anak saya dulu ke sekolah.”

Dzhiiing...
(bersambung)
read more..