Powered by Blogger.
RSS

Sunday, June 19, 2011

Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah (Bag. 2)

Begini ini kalau urusan melahirkan sudah menjadi pekerjaan. Saking sudah hafalnya prosedur dan kebiasaan orang melahirkan, perkiraan waktu bisa ditegakkan dan jadwal kegiatan lain bisa diatur. Soal segala rupa nyeri, mulas, dan nano-nano orang mau melahirkan sudah dianggap sebagai proses standar yang wajar untuk dialami. Tidak perlulah diambil pusing, namun cukup terus dipantau dan dilaporkan perkembangannya. Ya.. ya.. ya.. saya paham.. saya paham.

Cek dalam lagi. Baru pembukaan sembilan. Masih belum boleh mengejan. Sementara keinginan mengejan sungguh tak tertahan. Mulaaaas sekali rasa perut saya. Alhamdulillah, otak saya masih bisa berpikir jernih tentang bahaya mengejan sebelum pembukaan lengkap alias pembukaan sepuluh. Tidak main-main, bahayanya sangat fatal: k-e-m-a-t-i-a-n. Meski mati dalam melahirkan termasuk syahid insya Allah, tapi saya memilih mati-matian berusaha untuk tetap hidup. Saya ingin belajar mengemban amanah bernama keluarga dengan tetap hidup. Megap-megap saya terus mencoba mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Terus dan terus. Sambil terus berdzikir, laa haula wa laa quwwata illa billah. Terus dan terus.

Komando yang paling membahagiakan itu datang pukul setengah delapan pagi. ”Yak, silakan mengejan, Bu” kata Dokter Vika. Eh, saya masih bisa-bisanya bertanya, ”Sudah boleh, Dok?” Begitu Dokter Vika berkata, ”Iya,” langsung saja dengan sumringah saya praktekkan materi senam hamil berikutnya: praktek mengejan. Memusatkan kekuatan di perut dan mulai mengejan seperti kalau sedang BAB. Sungguh melahirkan adalah kebelet BAB yang paling mantap. Ambil nafas panjang, hembuskan perlahan, mengejan lagi. Beberapa kali.

”Ayo, Bu.. itu sudah kelihatan kepalanya!” kata suster menyemangati. Dan saya makin bersemangat. Dengan laa haula wa laa quwwata illa billah, saya mengejan lagi. Alhamdulillah saya sangat bersyukur telah mengikuti senam hamil. Sungguh terasa benar manfaatnya di sini. Kembali mengejan dan mengejan.

Sambil terus berdzikir laa haula wa laa quwwata illa billah dan juga Allahu akbar, otak saya memberi kalkulasi biaya kalau sampai operasi caesar. Otak saya juga mengkilaskan wajah saudara dan teman-teman yang lebih muda dan berhasil melahirkan dengan normal. Ingatan tentang Mas Hari yang menunggu saya di luar – hiks, padahal dari awal saya sudah bilang ke suster agar Dokter Vika mengijinkan Mas Hari ikut masuk, eyang kung, eyang uti, grandma, grandpa, dan keluarga saya turut memompakan adrenalin untuk terus berjuang.

Sayangnya, Dokter Vika memandang ade kecil tidak menunjukkan kemajuan berarti setelah beberapa kali mengejan dan mengambil keputusan untuk memberikan bantuan dengan vaccum. Meski saya masih bersemangat mengejan, rasanya mendengar instruksi vaccum itu saya kok merasa agak lega. Hehe. Jadilah, sesuai instruksi Dokter Vika, begitu ingin mengejan lagi, vaccum siap dinyalakan, dan begitu saya mengejan, ”Plopp..” vaccum menarik kepala ade kecil dan selanjutnya proses alami berjalan. Pundak dan tubuh ade kecil keluar dengan berlumuran cairan ketuban serta darah. Puk..puk..puk.. ditepuk-tepuk dan tak lama kemudian tangisnya yang luar biasa lantang membahana. Alhamdulillah, desis saya lega. Kamis, 18 November 2010 pukul 07.45 WIB.

Eh, tapi ternyata belum selesai, saudara-saudara! Masih ada tahap jahit-menjahit jalan lahir yang ternyata berasa menggigit-gigit antara geli dan sangat sakit. Saya hanya bisa berkali-kali mengucap laa haula wa laa quwwata illa billah untuk menahan sakit ketika tangan dokter Vika bergerak lincah menjahit jalan lahir ade kecil.

Alhamdulillah kesibukan saya berusaha memberikan inisiasi menyusui dini – IMD -- untuk ade kecil cukup menjadi pengalih rasa sakit menjadi rasa takjub dan syukur. Ya, melihat bibir kecilnya mendecap-decap penuh semangat mencari sumber minumnya membuat rasa sakit karena dijahit terlupakan. Subhanallah, ada sesosok kecil manusia yang berbaring di atas dada saya dan berjuang untuk kehidupan dunia yang akan ia mulai. Hangat kulitnya menghangatkan jiwa saya. Alhamdulillah, alhamdulillah.

”Selamat ya, Bu. Putranya sehat sekali,” kata Dokter Vika yang diamini suster-suster di ruang bersalin. Satu per satu ucapan selamat saya terima dengan penuh rasa syukur. ”Oiya, ibu hebat sekali lho!” Mendengarnya, saya tidak peduli jika itu merupakan kalimat klise yang dokter ucapkan di ruang bersalin karena itu adalah kalimat terindah yang membasuh peluh dan lelah saya semalaman.

Selepas IMD rupanya perjuangan saya belum juga selesai. Tantangan berikutnya adalah harus tetap terjaga paling tidak selama dua jam dan harus pipis. Tantangan pertama tidak terlalu masalah karena saya memang sudah membaca sebelumnya. Meski kantuk menyerang pada tahap cooling down ini, saya mencoba bertahan dengan menghabiskan sisa sarapan, mengobrol, dan berdiam diri.

Tantangan kedualah yang berjalan lambat. Sungguh saya kebelet pipis. Tapi, saya tidak kunjung bisa pipis dengan pispot. Tawaran kateter saya tolak karena teringat sakitnya dipasangi kateter ketika dulu pernah dirawat di rumah sakit. Turun dari tempat tidur dan pipis seperti biasa jelas belum memungkinkan bagi saya yang baru saja menguras tenaga untuk melahirkan. Jadilah, berdua dengan suster, saya menunggu dan menunggu keluarnya pipis ke panci pispot. Sungguh, tidak bisa!

Satu jam berlalu dan saya masih belum bisa pipis. Padahal sungguh sangat kebelet. Seorang suster lain masuk dan menanyakan perkembangan saya. Ketika tahu bahwa saya masih belum juga pipis, suster itu dengan galak memaksa saya setuju dipasangi kateter. Akhirnya saya menyerah dan setuju dengan kateter. Setelah itu... banjirrr! Hehehe.. alhamdulillah.

Selesai sudah seluruh rangkaian peristiwa kelahiran saya yang pertama di kamar bersalin. Keluarnya saya menuju kamar perawatan membuka halaman baru yang harus saya (dan Mas Hari) pelajari agar buku perjalanan kami lengkap dan sempurna.

Oiya, alhamdulillah, saya berhasil menepati janji ke Mas Hari: tidak menangis sama sekali. Alhamdulillah.

Alhamdulillah, berhasil juga menulis tentang pengalaman melahirkan Hanif Abdurrahman. 
Semoga dapat menjadi pelajaran.
Salatiga, 19 April 2011
read more..

Tuesday, May 10, 2011

Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah (Bag. 1)

Idul Adha 1431 H. Dalam penanggalan Masehi, jatuh pada 17 November 2010. Saya sudah mulai sering mengalami kontraksi palsu sejak beberapa hari lalu, terlebih seusai melakukan aktivitas fisik yang agak banyak. Saya harus semakin sering mempraktekkan senam nafas dan posisi berbaring rileks untuk meredakan kontraksi ade kecil.

Dan pagi ini saya berusaha tetap mengikuti sholat ied meski hanya di masjid komplek saja. Alhamdulillah bisa terlaksana plus sempat bereuni dengan Tunik dan Nina, karib saya semasa SMP yang juga tetangga di komplek. Selepas sholat ied, saya kembali berbaring dan merasakan kontraksi yang asli sepertinya mulai datang. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi.

Sungguh Facebook dan ponsel merupakan kecanggihan yang sangat saya syukuri karena menjadi teman berbaring yang menghibur. Bayangkan saja, betapa bosannya berbaring saja seharian sementara otak terus berputar ingin mengerjakan ini dan itu. Terlebih Mas Hari belum kembali dari Jakarta selepas mengikuti wawancara CPNS BNN. Nak, sabar ya.. tunggu Bapak kalau mau keluar...

Menjelang maghrib, kontraksi terasa makin teratur, meski masih dalam periode 20 menit sekali selama sekitar 1 menit. Mas Hari belum juga datang. Ambil nafas panjang, hembuskan perlahan. Itu saja yang saya lakukan. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Tidak ada dan tidak ada kekuatan selain dari Allah. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha. Tidaklah Allah menguji seorang hamba selain dari kemampuannya.

Pukul 20 malam, Mas Hari datang dengan Bapak. Menjemput untuk membawa saya ke rumah Lembah Hijau. Kontraksi saya sudah masuk ke setiap 10 menit. Saya semakin sering menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Alhamdulillah senam nafas itu efektif mengalihkan nano-nano kontraksi yang saya alami.

Sebisa mungkin saya berusaha tidur. Menghimpun energi jika sewaktu-waktu tanda-tanda melahirkan semakin nyata. Agak susah juga tidur karena lama tidak bertemu Mas Hari dan ingin bercerita banyak hal. Namun saya memaksakan diri untuk istirahat. Kaki saya agak bengkak.

Mas Hari anteng menemani saya. Memantau kontraksi dan sesekali mengusap punggung saya. ”Nanti jangan nangis, ya,” pesannya. ”Iya, insya Allah,” jawab saya sambil nyengir. Pukul 22 malam, kontraksi setiap 6 menit sekali. Waktunya siaga. Saya kebelet pipis.

Ternyata sudah ada bercak darah seperti haid ketika saya akan pipis. Oke, berarti saya masuk ke tanda kelahiran yang kedua. Oiya, kontraksi merupakan tanda kelahiran yang pertama, ya. Alhamdulillah keikutsertaan saya dalam kelas persiapan kelahiran dan senam hamil plus banjir informasi tentang proses kelahiran yang saya dapat dari Mas Hari sedikit banyak mempersiapkan mental saya untuk tetap tenang dan berpikir jernih.

”Nda, ade sudah ada bercak darah,” lapor saya ke Mas Hari.

”Oke, kita tunggu setengah jam lagi ya,” kata Mas Hari dan saya artikan sebagai ”Oke, tenang saja..insya Allah semua baik-baik saja.”

Pukul 23 malam kami – saya, Mas Hari, Adi, dan Ibu – berangkat ke RSIA Anugerah Semarang. Perut rasanya sudah begah dan ade kecil jedug-jedug terus. Ambil nafas panjang, hembuskan perlahan. Oiya, sambil mengaktifkan stopwatch di handphone untuk menghitung lama kontraksi dan jarak antarkontraksi. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Sampai di RSIA pukul 00.30 dan langsung masuk ke ruang bersalin. Ganti baju dan menjalani prosedur standar: cek tekanan darah, periksa dalam, pertanyaan ini itu, dan menunggu. Masih pembukaan 2 rupanya. Dokter kandungan saya sudah dihubungi dan sepertinya bidan jaga diminta memantau dulu. Ya.. ya.. saya tahu kalau anak pertama biasanya lama, jadi dokter juga punya alasan untuk tidak buru-buru.

Jadilah saya berbaring saja, miring ke kiri, menikmati kontraksi yang rupanya perlahan mulai membuat punggung terasa nyeri. Mas Hari dan suster jaga bergantian mengusap-usap punggung saya sambil mengobrol. Mereka yang mengobrol, maksud saya, karena saya sibuk menghela nafas dan membuang nafas perlahan. Sesekali saya nimbrung kalau kontraksi sedang diam.

Pukul 2 dini hari, saya diperiksa lagi. Baru pembukaan 4. Masih lama sepertinya. Stok obrolan Mas Hari dan suster menunjukkan tanda-tanda menipis. Soalnya, mereka menjadi lebih banyak diam dan memperhatikan saya sebagai pengalih kebosanan. Tentu saja, tangan mereka tidak berhenti bergantian mengusap punggung saya yang nyeri dan nyeri. Saya mencoba tidur. Tapi ternyata tidak bisa dan hanya memejamkan mata saja.

Pukul 3 dini hari, rupanya saya tertidur dan terbangun karena nyeri punggung minta diusap. Tinggal Mas Hari yang menemani saya. Dan Mas Hari tertidur di kursinya. Saya tidak sampai hati membangunkannya dan jadilah saya memandanginya untuk mengalihkan rasa nyeri di punggung saya. Perlahan, saya tersenyum memandangi wajahnya. Sungguh saya bersyukur, ia ada di sini sekarang.

Adzan shubuh. Saya mau wudhu tapi justru ditanya, “Kok mau wudhu?”

Kan mau sholat,” jawab saya spontan.

“Kan lagi melahirkan,” tersenyum Mas Hari berkata. Dan saya tertawa, ”Oiya, ya..”

Buru-buru saya berpesan kepada Mas Hari, ”Jangan lupa doain ade ya, nda..”

”Iya, insya Allah”

Saat itu, saya dinyatakan memasuki pembukaan enam.

Pukul setengah 6 pagi. Masih tetap  menunggu. ”Jangan lupa ngabari grandpa dan grandma ya, nda.. Biar pada tenang.” Mas Hari membantu saya mandi dan sarapan. Roti tawar lapis mentega dan meises coklat, segelas susu coklat, dan beberapa teguk teh manis. Kontraksi perut saya makin menjadi. Rasanya sudah ingin mengejan saja. Mulas sekali. Tapi berkali-kali otak saya memerintahkan untuk menunggu lampu hijau dari bidan. Dan jangan menangis. Dokter Vika belum juga datang. Lagi-lagi bertahan dengan menarik nafas panjang, menghembuskan perlahan, dan berbaring miring ke kiri. Laa haula wa laa quwwata illa billah, pembukaan delapan.

Ssssssssshhh..hhhhhhhh..
Ssssssssshhh..hhhhhhhh..
Ssssssssshhh..hhhhhhhh..

Saya melirik jam. Pukul 7. Sekuat tenaga mempertahankan akal sehat, kontrol agar tidak mengejan, dan susah payah mencari posisi nyaman, saya bertanya ke bidan, ”Dokternya mana, sus?”

”Sebentar lagi datang kok, Bu..sedang dalam perjalanan,” bidan Novi berusaha menenangkan saya. Logika saya berkata bahwa itu adalah jawaban standart karena satu jam yang lalu jawaban yang sama juga sudah disampaikan ke saya. Namun anehnya, otak saya memerintahkan saya menerima jawaban itu tanpa protes dan justru timbul perasaan terhibur mendengarnya. Untungnya bidan Novi lantas berkata, ”Saya telpon lagi dokternya ya, Bu.” Dengan berterima kasih saya menjawab, ”Iya, sus.. matur nuwun.”

Lima belas menit yang terasa berjam-jam. Akhirnya Dokter Vika muncul dan menyapa riang, ”Selamat pagi!” Lega sekali mendengarnya. Sepenuh hati saya menjawab dan berkata, ”Maaf ya, Dok, saya pagi-pagi benar sudah ngerepoti.”

Sejenak ada ekspresi kaget di wajah Dokter Vika. Sebuah sapaan yang tidak terduga, mungkin. Namun dengan profesional Dokter Vika menjawab, ”Ndak apa-apa, sudah tugas saya kok. Saya yang minta maaf karena ngantar anak saya dulu ke sekolah.”

Dzhiiing...
(bersambung)
read more..

Sunday, April 10, 2011

Senyummu, Guruku

Satu hal yang menjadi kebiasaan Hanif (3,5 bulan) adalah memberikan senyum lebar di sela-sela kantuknya jika ia telah merasa nyaman dengan persiapan tidurnya. Sebuah senyum dengan mata nyaris terpejam dan memperlihatkan gusi merahnya yang belum bergigi. Sekitar 2 atau 3 detik saja, dan senyum itu lenyap ditelan tidurnya, tak meninggalkan bekas kecuali hela nafas teratur Hanif yang telah tidur.

Sampai sekarang, saya sering terharu jika mendapati senyum Hanif yang ini. Senyum yang seolah menyampaikan ucapan terima kasih kepada ibunya. Terima kasih atas persiapan tidur yang nyaman, terima kasih atas hari ini, terima kasih atas segalanya.

Ya, bahkan seorang Hanif pun selalu mengajarkan saya untuk berterima kasih. Untuk bersyukur. Atas segala kebahagiaan yang telah direguk, sekecil apapun bentuknya. Hanif, bayi yang bahkan belum sempurna berkata-kata, telah belajar mengucap syukur melalui senyum mungilnya. Subhanallah wal hamdulillah.

Seiring dengan senyum Hanif, sebuah energi segar yang entah datang dari mana seolah mengaliri jiwa saya. Mendatangkan kembali semangat yang mungkin telah kendur di petang hari. Membisikkan ide yang mungkin telah lelah saya cari seharian. Mengetuk lebih keras pintu kesadaran saya untuk terus bersyukur. Kepada Allah, kepada suami saya, kepada orang tua saya.

Saya pun membalas dengan memberikan ciuman pengantar tidur. Kecupan lembut di kening, salam hidung, serta ciuman pelan di kedua pipinya yang montok.

Terima kasih telah menjadi guru yang hebat untuk Ibu, Nak..

Salatiga, 11 Maret 2011
read more..

Wednesday, March 30, 2011

Bayi Pulas, Orang Tua Plong Bernafas

Saya seringkali menangkap ekspresi heran dan kebanyakan tidak percaya jika saya katakan bahwa Hanif tidak membuat ibunya bergadang di malam hari.

Ya, pola tidur bayi pada umumnya memang berkebalikan dengan pola tidur orang dewasa. Justru di tengah malam atau dini hari, bayi akan terbangun dan aktif mengajak bermain sementara – tentu saja – pada jam tersebut orang dewasa cenderung pulas-pulasnya tidur. Baru ketika menjelang shubuh, bayi akan mengantuk dan tertidur kembali, meninggalkan orang dewasa yang frustasi mempersiapkan diri untuk beraktivitas seharian sambil menahan kantuk. Itu semua tak lain karena bayi masih mengikuti biological rythm janin dalam kandungan yang tidak mengenal perbedaan siang dan malam. Malam terus lebih tepatnya.

Lantas, mengapa Hanif tidak demikian? Tentu saja ada trik-nya. Kuncinya adalah pada mengajarkan konsep siang dan malam kepada bayi.

Konsep malam hari.
  1. Gunakan lampu tidur yang redup.
  2. Minimalkan suara atau percakapan.
  3. Hindari percakapan atau berisik saat mengganti popok atau menyusui bayi. Jika bayi terbangun dan berceloteh, tidurkan lagi tanpa menanggapi ajakan bayi untuk bermain atau berceloteh. Cukup senyum saja agar bayi tetap merasa diperhatikan namun juga belajar bahwa jika kondisi lampu redup, maka kita tidak akan memenuhi permintaannya untuk bermain atau berceloteh.
  4. Bayi memiliki keteraturan jadwal yang menakjubkan. Amati dan catat jadwal menyusui bayi kemudian bersiaplah di dekat bayi ketika jadwal meyusui hampir tiba. Bagitu bayi menunjukkan tanda-tanda lapar, langsung susui dan usahakan agar bayi jangan sampai terbangun.

Konsep siang hari:
  1. Biarkan cahaya masuk dengan berlimpah.
  2. Ajak bayi bercakap-cakap ketika beraktivitas.
  3. Biarkan bayi melihat aktivitas kita apa adanya.
  4. Amati dan catat kebiasan biologis bayi pada siang hari agar aktivitas kita dapat disesuaikan dengan aktivitas bayi.

Begitulah..silakan dipraktekkan. Oiya, perlu diketahui juga bahwa bayi yang baru lahir sekalipun merupakan pembelajar yang hebat. Meski fungsi organ tubuhnya belum serupa orang dewasa, namun kebiasaan-kebiasaan yang kita terapkan kepada bayi akan menjadi bahan pelajaran untuknya. Ia akan bersikap begini atau begitu tergantung bagaimana kita membiasakan sesuatu kepadanya. Contohnya, jika kita membiasakan untuk menggunakan lampu redup di malam hari, bayi akan belajar bahwa ketika lampu tersebut mulai dinyalakan, maka waktu dia untuk tidur sudah tiba.

Alhamdulillah Hanif memiliki jadwal tidur teratur sejak berusia sekitar satu bulan. Saya sungguh bersyukur akan hal itu mengingat Bapaknya Hanif terpaksa tinggal di Jakarta sehingga saya harus mempraktekkan teori mengasuh bayi seorang diri sejak awal dan berkonsultasi jarak jauh dengan bapaknya. Alhamdulillah. 



read more..

Thursday, March 17, 2011

Ahlan wa Sahlan...

Selamat datang di rumah, wahai para penyejuk mata!


Salatiga, 18 Maret 2011
tepat 4 bulan Hanif Abdurrahman

read more..